Gerhana Matahari - Ini Cara Rasulullah SAW Menghadapinya

Gerhana Matahari - Ini Cara Rasulullah SAW Menghadapinya
Gerhana Matahari - Ini Cara Rasulullah SAW Menghadapinya

SHOLAT wajib 5 waktu disyariatkan saat peristiwa Isra' dan Mi'raj. Adapun Isra' dan Mi'raj terjadi pada hari Senin Legi tanggal 27 Rajab –3 H (hijriah)/19 Maret 619 M (masehi). Sebagian riwayat mengatakan 16 bulan sebelum hijrah, sebagian lagi mengatakan 5 tahun sebelum hijrah. Sedangkan sholat gerhana baru disyariatkan 6 tahun 2 bulan setelah Isra' dan Mi’raj. sholat gerhana disyariatkan pertama kali pada tahun ke-5 hijrah, yakni ketika terjadi gerhana bulan total pada malam Rabu 14 Jumadal Akhirah 4 H, bertepatan dengan 20 November 625 M.
Sejak disyariatkannya sholat gerhana, 14 Jumadal Akhirah 4 H/20 November 625 M sampai Rasulullah SAW wafat pada hari Senin Legi, 14 Rabi’ul Awal 11 H/8 Juni 632 M terjadi 3 kali gerhana matahari dan 5 kali gerhana bulan. Menurut riwayat, Rasulullah SAW wafat tanggal 12 Rabi’ul Awal.
Sejak disyariatkannya sholat gerhana sampai beliau wafat, Rasulullah SAW melakukan sholat gerhana hanya dua kali. Yang pertama saat gerhana bulan, 14 Jumadal Akhirah 4 H yang bertepatan dengan 20 November 625 M; dan yang kedua saat gerhana matahari, 29 Syawal 10 H yang bertepatan dengan 27 Januari 632 M. Namun di dalam kitab Syarah Shahihul Bukhari Liibnil Bathal disebutkan bahwa Rasulullah SAW sholat gerhana beberapa kali.
Kenapa Rasulullah hanya sholat satu kali gerhana bulan dan satu kali gerhana matahari, padahal setelah disyariatkannya sholat gerhana, menurut hisab masih terjadi 4 kali gerhana bulan dan 3 kali gerhan matahari? Memang betul secara hisab terjadi beberapa kali gerhana bulan dan matahari namun waktu terjadinya gerhana bulan maupun matahari terlalu dekat dengan terbit dan terbenamnya bulan atau matahari, sehingga waktunya sempit.

Berikut sedikit uraian kronologi gerhana

1. Enam bulan setelah gerhana bulan yang pertama kali disyari'atkan tepatnya 15 Dzulhijjah 4 H/17 Mei 2626 M terjadi gerhana bulan parsial namun waktunya menjelang shubuh dan beberapa saat setelah shubuh bulan tenggelam dalam keadaan gerhana.

2. Sebelas bulan berikutnya tepatnya 29 Dzulqo'dah 5 H/21 April 627 M terjadi gerhana matahari, namun persentasi piringan matahari yang tertutup hanya 5 persen, kemungkinan besar tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.

3. Sebelas bulan kemudian tepatnya 14 Dzulqo'dah 6 H/25 Maret 628 M terjadi gerhana bulan dengan persentasi gerhana 31 persen namun terjadi saat-saat maghrib. Awal gerhana terjadi sebelum bulan terbit, sehingga saat terbit, bulan sudah dalam keadaan gerhana, lalu beberpa menit sebelum waktu isya', gerhana sudah berakhir.

4. Enam bulan berikutnya tepatnya 29 Jumadal Ula 7 H/3 Oktober 628 M terjadi gerhana matahari, namun persentasi piringan matahari yang tertutup hanya 12 persen. kemungkinan besar tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Awal gerhana terjadi sebelum matahari terbit dilihat dari Madinah, sehingga saat terbit, matahari sudah dalam keadaan gerhana, lalu beberpa menit setelah matahari terbit, gerhana sudah berakhir.

5. Lima bulan berikutnya tepatnya 14 Dzulqo'dah 7 H/15 Maret 629 M terjadi gerhana bulan total di tengah malam. Bulan Maret adalah mulai berakhirnya musim dingin. Aktifitas malam masyarakat Arab masih rendah karena beberapa hari sebelumnyah suhu udara masih dingin. Disamping itu sisa-sisa mendung kemungkinan masih banyak sehingga bulan yang sedang gerhana luput dari perhatian masyarakat Madinah saat itu, selebihnya wallohu A'lam.

6. Dua belas bulan berikutnya, tepatnya 15 Dzulqo'dah 8H/4 Maret 630 M terjadi gerhana sebagian dengan persentasi puncak gerhan sekitar 68 persen, namun terjadi saat-saat maghrib. Awal gerhana terjadi sebelum bulan terbit, sehingga saat terbit, bulan sudah dalam keadaan gerhana, lalu beberapa menit (23 menit) setelah matahari terbenam (waktu maghrib) gerhana sudah berakhir.

7. Duapuluh tiga bulan berikutnya tepatnya 29 Syawal 10 H/27 Januari 632 M terjadi gerhana matahari dengan persentasi puncak gerhana 82 persen. Bertepatan dengan peristiwa gerhana tersebut, tepatnya malam hari sebelum gerhana, Sayyid Ibrohim putra Rasulullah SAW dari ibu Maria Al-QIbtiyah wafat. Pada saat gerhana matahari inilah pertama kali sekaligus terakhir kalinya Rasulullah SAW melaksanakan sholat gerhana matahari.



Kontroversi Gerhana Matahari Zaman Nabi


Ketika terjadi gerhana, kita pasti teringat akan wafatnya sayyid Ibrohim, putra Rasulullah SAW dari Maria Al-Qibtiyah binti Syam’un (Istri Jariyah rosul hadiah dari penguasa Mesir, Juraij bin Mina Al-Mukaukis) yang wafat saat terjadi gerhana matahari, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
Dari Abdurrohman bin Hasan bin Tsabit dari ibunya Sirin katanya:“Saya telah menghadiri kematian Ibrahim putra Rosululooh SAW. Dan pada hari tersebut terjadi gerhana matahari. Lantas orang pada kasak-kusuk bahwa gerhana tersebut terjadi karena wafatnya Ibrohim, kemudian Rasulullah SAW bersabda “ Sesungguhnya matahari dan bulan itu dua tanda dari tanda-tanda kekuasaan Alloh, tidaklah keduanya gerhana karena mati atau hidupnya seseorang. Beliau wafat pada hari Selasa, 10 hari dari bulan Rabi’ul Awal tahun 10 H.

Menurut riwayat yang kuat menyebutkan bahwa gerhana matahari yang bertepatan dengan wafatnya sayyid Ibrohim terjadi pada tanggal 10 Rabi’ul Awwal 10 H sementara menurut riwayat lain menyebutkan bulan Romadlon dan bulan Dzulhijjah, bahkan ada yang menyebutkan terjadi pada saat penjanjian hudaibiyah.

Hal ini sangat anomali dengan kaedah hisab yang mana gerhana matahari mestinya terjadi pada pada akhir bulan qomariyah (penileman) yakni saat ijtimak/konjungsi, sedangkan gerhana bulan terjadi pada saat purnama/badr.

Dari penelusuran hisab, sejak tahun 8 (tahun lahirnya sayyid Ibrohim) sampai 10 hijriyah hanya terjadi satu kali gerhana matahari, yaitu gerhana cincin yang terjadi pada hari Senin Pon, 29 Syawal 10 H, bertepatan dengan 27 Januari 632 M, terjadi pada pagi hari jam 07:15 dan berakhir pada jam 09:53. waktu Madinah. Dengan demikian maka kemungkinan besar wafatnya sayyid Ibrohim adalah malam Senin, 29 Syawwal 10 H.

Lalu bagaimana dengan riwayat yang menyebutkan terjadi pada tanggal 10 Rabi’ul Awwal 10 H? Riwayat tersebut tidaklah salah karena saat itu masyarakat Arab belum mempunyai kalender baku yang menjadi patokan syar’i secara umum. Saat itu sistem kalender masih sering berubah, kabilah Arab seringkali menambah atau mengurangi bilangan bulan dalam setahun untuk kepentingan perang, kadang dalam setahun ada 13 bulan. Kalender qomariyah mulai tertib setelah nabi menyampaikan ayat ke 36 surat At-Taubah pada waktu khutbah hari Tasyrik di Mina.
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus” (At-Taubah 36)

“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan haram itu adalah menambah kekafiran. Disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (At-Taubah 37)

Sebelum ayat tersebut turun, kalender bulan qomariyah diselaraskan dengan kalender syamsiyah sehingga dalam 3 tahun terdapat tahun yang jumlah bulannya 13 bulan. Sebelum dan sa’at berkembangnya Islam di jazirah Arab, baik kalender Qomariyah (Lunar Calendar) maupun Syamsiyah (Solar Calendar) sudah dikenal akan tetapi belum ada patokan tahunnya serta kaidah-kaidah yang baku yang menjadi ketetapan kalender sehingga baik awal tahun maupun awal bulan serta jumlah bulan dalam setahun tidak beraturan.

selengkapnya : http://pekanbaru.tribunnews.com/2016/02/26/ini-cara-rasulullah-saw-menghadapi-gerhana-matahari?page=4

0 Response to "Gerhana Matahari - Ini Cara Rasulullah SAW Menghadapinya"

Post a Comment

Terimakasih sudah meninggalkan jejak :)